World War Z diangkat dari sebuah novel berjudul sama gubahan Max Brooks. Sedangkan film adaptasinya ditulis keroyokan (melalu beberapa re-writes) oleh Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard (The Cabin in the Woods, 2012) dan Damon Lindelof serta disutradarai oleh Marc Forster, yang sebelumnya menghadirkan Finding Neverland (2004), The Kite Runner (2007) dan Quantum of Solace (2008). Bukunya sendiri menceritakan secara kronologis tentang sejarah fiktif Zombie Waryang terjadi di berbagai belahan dunia, lengkap dengan kepemerintahan, taktik hingga ekonomi negara-negara tersebut dalam menghadapi serangan zombie. Dalam film adaptasinya, dikisahkan Gerry Lane (Brad Pitt) dan istrinya, Karen (Mireille Enos) beserta anak-anaknya terjebak dalam sebuah outbreak virus yang menyebabkan orang yang terjangkit akan berubah menjadi mayat hidup atau zombie. Zombie-zombie itu akan mulai menyerang, menggigit dan mengubah yang digigit menjadi sebangsa dengan mereka. Sebelum menjadi stay-home dad, Gerry sendiri sebenarnya adalah seoranginvestigator yang bekerja di United Nations (PBB) yang sudah beberapa kali menangani kasus-kasus bentrokan atau fraksi di negara-negara ketiga. Lewat repertoire-nya tersebut, Thierry, teman sekaligus agen PBB meminta Gerry untuk mengajak seorang ilmuwan Harvard dan beberapa pendamping untuk mencari tahu tentang asal muasal sang virus, dengan harapan untuk dapat menemukan vaksin untuk melawan outbreak tersebut. Awalnya, Gerry menolak, tetapi ketika keluarga nya terancam akan diusir dari kapal refugee, Gerry pun tak memiliki pilihan lain untuk melakukan pekerjaan yang sudah lama ia tinggalkan tersebut.
Karakter Gerry yang terkesan sangat sempurna ini (super lucky, great fighter, great investigator, great husband, great dad, great etc), mungkin yang menjadi salah satu kelemahan film ini. Saya jadi tidak begitu bersimpati dengan Gerry. Belum lagi dengan ikatan emosional antara Gerry dan istrinya yang bagi saya tidak begitu believeable. Karakter yang diperankan oleh Mireille Enos itu juga kurang diberikan porsi yang pas untuk meyakinkan saya terhadap jalinan emosi antar keduanya. Padahal karakter Karen bisa diperkuat lagi dengan intrik politik dan moral yang terjadi dalam kapal refugee. Sayangnya subplot tersebut juga kurang berhasi digali lebih dalam. WWZ juga terasa agak stale di beberapa bagian. Ada momen-momen yang terkesan kurang balance pacing nya dan kurang seimbang. Awalnya sudah dengan baik memberikan pace yang cepat, tetapi agak stumble di pertengahan, hingga mulai seru lagi di belakang. Hal tersebut juga tidak dibantu oleh endingnya yang sedikit kurang memuaskan.
Selain beberapa singgungan isu politik (Israel membangun dinding tinggi untuk mengisolasi negaranya hingga cara 'unik' yang membuat Korea Utara tidak mengalami serangan zombie), banyak adegan-adegan yang cukup membuat adrenalin naik. Walaupun memiliki rating PG-13, which means less gore, blood, and sadistic stuffs, nyatanya film ini masih bisa memberikan intensitas tinggi bagi penonton. Di fase pertama WWZ, kita akan menyaksikan grand-scale setpieces, with literally thousands of zombies. Yang tentunya memberikan betapa 'gilanya' virus tersebut bisa menyebar. Lalu masuk ke fase kedua, dimana fokus cerita berubah ke tempat yang lebih secluded, dengan penggambaran zombie yang lebih 'manusiawi' dan komikal. Keduanya memiliki teknik ketegangan yang berbeda, tetapi tetap memberikan efek yang cukup sama.
Dengan adegan-adegan tersebutlah, bagi saya Marc Forster cukup berhasil memanfaatkannya untuk membangun ketegangan film ini. Well, setidaknya film ini menjelaskan mengapa serangan zombie banyak terjadi di kota-kota besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar